Selasa, 24 November 2020

Menuju APIP Kelas Dunia

#itjenkemenkes #sehattanpakorupsi #apipkelasdunia #iacmmodel #hendrosantoso

            Itulah sekilas ungkapan yang sempat terucap dari salah satu sejawat pada saat diskusi tentang ide dan cita-cita yang ingin dicapai pada forum saresehan Auditor bersama pimpinan. Dari ungkapan yang disampaikan teman sejawat tersebut, terbersit rasa pesimisme terhadap kiprah Inspektorat Jenderal Kemenkes sebagai Aparat Pengawas Internal Pemerintah dilingkungan Kementerian Kesehatan. Sekilas kalo kita menyingkapi atas ungkapan tersebut ada sedikit benarnya, namun kalo kita lihat secara luas makna dari APIP Kelas Dunia itu sendiri pernyataan tersebut tidak lah tepat. Sebenarnya seperti apa sih APIP kelas Dunia? Lalu apa itu yang dimaksud dengan IA-CM?

Dari rasa penasaran, keingin tahuan dan rasa kepedulian terhadap kemajuan organisasi Inspektorat Jenderal Kementerian kesehatan, maka penulis memberanikan diri untuk mencoba menguraikan sebuah pikiran dan terurai dalam sebuah tulisan yang menjabarkan tentang APIP Kelas Dunia dengan pendekatan Model Internal Audit Capability Model (IA-CM).

Globalisasi dan perkembangan teknologi digital akan sangat mempengaruhi potret tatakelola birokrasi di Indonesia pada tahun 2020-2024 dan sekaligus merubah mind set dan culture set pola pengawasan APIP. Selain itu, berbagai isu nasional juga akan berpengaruh pada potret tersebut, misalnya tingkat pembangunan ekonomi, tuntutan untuk pemerataan pembangunan daerah dengan memperluas basis perekonomian wilayah timur Indonesia, serta kualitas dan distribusi Aparatur Sipil Negara saat ini.

Peningkatan budaya digital di masyarakat juga akan berdampak pada budaya birokrasi. Hasil survei Deloitte (2015) di 70 negara yang melibatkan 1.200 pegawai pemerintah menunjukkan bahwa teknologi digital telah mengakibatkan perubahan cara dan pola kerja pemerintah. United Nations (UN) e-Government Survey 2020 telah menempatkan Indonesia pada peringkat 88 atas pengembangan dan pelaksanaan e-government atau sistem pemerintahan berbasis elektronik (SPBE). Hasil di tahun 2020 yang dirilis pada bulan Juli, menunjukkan kenaikan 19 peringkat dibandingkan tahun 2018 yang berada di urutan 107 dan urutan 116 di tahun 2016. Peningkatan proporsi Aparatur Sipil Negara dari kalangan generasi milenial ini juga diprediksi akan menuntut perubahan pola dan cara kerja birokrasi, seperti perubahan jam kerja menjadi lebih fleksibel dan perubahan tempat kerja yang lebih mendukung diskusi dan sharing informasi. Berbeda dengan generasi baby boomers dengan ciri-ciri yang lebih mengedepankan tata krama birokrasi, generasi milenial (Generasi Y) memiliki karakteristik lebih kreatif, lebih melek informasi teknologi, dan lebih mengutamakan worklife balance. Hal ini dipredikasi akan menimbulkan gap generasi dan gap budaya kerja dalam birokrasi Aparatur Sipil Negara di lingkungan APIP itu sendiri.

Ke depan, tuntutan untuk melakukan transformasi birokrasi juga semakin besar. Hal ini dikarenakan oleh tuntutan efisiensi biaya birokrasi, peningkatan peran dan kontribusi stakeholder non-pemerintah dalam pembangunan, tuntutan pelayanan publik yang semakin personalized sehingga mudah diakses dari mana saja dan kapan saja oleh masyarakat dan tuntutan untuk mewujudkan data-smart government di era industri 4.0


Gambar 1 Peta Jalan Pengelolaan Birokrasi Aparatur Sipil Negara sumber: Kemenpan RB 

Pemerintah telah menetapkan peta jalan (roadmap) pengelolaan birokrasi yang dibagi dalam empat tahapan seperti yang terlihat pada gambar 1. Tahapan tersebut dimulai dari pembentukan good governance, kemudian reformasi birokrasi dan dilanjutkan dengan pengelolaan berbasis sistem merit di mana kebijakan dan manajemen Aparatur Sipil Negara berdasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar. Pada periode 2020-2024, arah pengelolaan birokrasi akan difokuskan untuk menghasilkan birokrasi berkelas dunia dengan menyesuaikan terhadap perkembangan era industri 4.0.

Sejalan dengan road map 2020-2024 pengelolaan birokrasi menuju birokrasi berkelas dunia, maka sudah selayaknya kapabilitas Inspektorat Jenderal Kementerian Kesehatan sebagai APIP juga perlu dikelola menjadi Strategic Partner dan Trusted Advisor menuju kapabilitas APIP level 4 (managed) pada tahun 2023, dimana APIP mampu memberikan assurance secara keseluruhan atas tata kelola, manajemen resiko, dan pengendalian intern dengan karakteristik seperti yang terdapat dalam gambar 2. Karakteristik APIP tersebut diharapkan dapat mendorong dan mendukung terwujudnya Birokrasi berkelas dunia.


Gambar 2 Karakteristik Kapabilitas APIP Level 4 (Manage)

Penilaian kapabilitas APIP yang dikembangkan secara Nasional, berpedoman pada kerangka model yang dikembangkan oleh Institute of Internal Auditors (IIA), yaitu Model Kapabilitas Pengawasan Intern atau Internal Audit Capability Model (IA-CM). Model IA-CM merupakan suatu kerangka kerja yang mengindentifikasi terhadap aspek-aspek fundamental yang dibutuhkan untuk pengawasan intern yang efektif di sektor publik. IA-CM menggambarkan jalur evolusi untuk Inspektorat Jenderal mengembangkan pengawasan intern yang efektif  dalam memenuhi persyaratan tata kelola birokrasi yang baik dan profesional. IA-CM menunjukkan langkah langkah untuk maju dari tingkat pengawasan intern yang kurang kuat menuju kondisi yang kuat, efektif, kapabilitas pengawasan intern umumnya, terkait dengan organisasi yang lebih matang dan kompleks. Di dalam model IA-CM, kapabilitas APIP dibagi menjadi lima level kapabilitas, yaitu Level 1 (Initial), Level 2 (Infrastructure), Level 3 (Integrated), Level 4 (Managed), dan Level 5(Optimizing).

Pada setiap level/tingkatan terdapat 6 (enam) proses yang selanjutnya disebut sebagai elemen pengawasan intern yang didalamnya terdapat beberapa Key Process Area (KPA), yaitu 1) peran dan layanan APIP, 2) pengelolaan SDM, 3) praktik profesional, 4) akuntabilitas dan manajemen kinerja, 5) budaya dan hubungan organisasi, dan 6) struktur tata kelola. KPA dari dari setiap elemen merupakan bangunan utama yang menentukan tingkat kapabilitas suatu APIP. KPA mengidentifikasi apa yang seharusnya ada dan berkelanjutan pada tingkat kapabilitas tertentu sebelum penyelenggaraan aktivitas pengawasan intern dapat meningkat pada level berikutnya. Dan ketika APIP telah melembagakan semua dari KPA terkait dengan tingkatan tertentu, maka dapat dianggap APIP tersebut telah mencapai tingkat level tersebut. Dengan kata lain, semua KPA dalam setiap elemen harus dikuasai dan dilembagakan ke dalam sebuah budaya dari kegiatan APIP untuk mencapai tingkatan tertentu.

Dari uraian diatas, pada akhirnya mari kita merenung sejenak untuk memikirkan bagaimana Inspektorat Jenderal Kementerian Kesehatan bisa mewujudkan kapabilitas APIP level 4 pada tahun 2023 dan bagaimana langkah yang harus kita tempuh untuk menjadikan Itjen Kemenkes sebagai partner strategic dan trusted advisor. Berikut diuraikan 5 (lima) langkah-langkah untuk bisa mewujudkan Institusionalisasi KPA setiap level kapablitas APIP:

1.    Commitment to Perform

Pembangunan komitmen dan pengembangan kebijakan Inspektorat Jenderal Kementerian Kesehatan RI dalam upaya membangun, mengembangkan, dan menyelenggarakan aktivitas esensial pada setiap Key Process Area (KPA)

2.    Ability to Perform

Penyediaan sumber daya yang memadai, hal ini terkait dengan kebutuhan sumber daya yang memdai baik sumber daya manusia, dana, peralatan termasuk keahlian atau kompetensi yang dibutuhkan oleh Inspektorat Jenderal dalam melaksanakan pengawasan dilingkungan Kementerian Kesehatan.

3.    Activities Performed

Implementasi kebijakan di Inspektorat Jenderal terhadap pelaksanaan aktivitas esensial sesuai KPA yang harus dilaksanakan secara spesifik.

4.    Measurement

Pengukuran peningkatan kapabilitas Inspektorat Jenderal yang dilakukan terhadap aktivitas esensial secara berkelanjutan yang kemudian dianalisis untuk mengetahui tingkat kemajuan setiap KPA yang telah terpenuhi dan belum terpenuhi.

5.    Verification

  Evaluasi Independen untuk menilai peningkatan kapabilitas Inspektorat Jenderal. Verifikasi merupakan upaya untuk meyakini bahwa aktivitas esensial telah dilaksanakan sesuai kebijakan dan prosedur, termasuk perlu dilakukannya evaluasi/reviu secara independent dan reviu/oversight oleh manajemen.

Daftar Pustaka

  1.  Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah;
  2. Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025;
  3. Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024;
  4. Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2011 tentang Percepatan Peningkatan Kualitas Akuntabilitas Keuangan Negara;
  5. Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 25 Tahun 2020 tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2020-2024;
  6. Peraturan Kepala BPKP Nomor PER-1633/K/JF/2011 tentang Pedoman teknis Peningkatan Kapabilitas APIP;
  7. Peraturan Kepala BPKP Nomor 6 tahun 2015 tentang Grand Design Peningkatan kapabilitas Aparat pengawasan Intern Pemerintah tahun 2015-2019;
  8.  Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 27 Tahun 2018 tentang Kebijakan Pengawasan;
  9. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 21 Tahun 2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Kesehatan 2020-2024;
  10. Buku Grand Desain Pengelolaan ASN Kementerian Kesehatan 2020-2024.

 

*) Hendro Santoso, SKp, M.Kep, Sp.Kom, MHKes, CRMO, QRMA

Lahir di Cianjur, Tanggal 28 Juni 1977

Pendidikan: 1. S2 Keperawatan Universitas Indonesia

                      2. S2 Hukum Kesehatan- UNISBA

 

Kepala Bagian APTLHP Itjen Kemenkes RI


//work from home //stay @ home //cegah covid-19

(yas)

Sabtu, 15 Agustus 2020

POLICY BRIEF




POLICY BRIEF
(Oleh Kadek Pandreadi, S.Pd, S.H., M.M

#investigasi #sehattanpakorupsi #policy #brief #covid19





(yas)


 

Kamis, 06 Agustus 2020

TETAP PRODUKTIF DI TENGAH PANDEMI COVID-19

TETAP PRODUKTIF DI TENGAH PANDEMI COVID-19

#investigasi  #sehat_tanpa_korupsi #sehatindonesia #covid19

 


Jakarta, 4/08- Meskipun ditengah pandemi Covid-19, tidak membuat Inspektorat Jenderal Kemenkes berhenti untuk meningkatkan kapasitas SDM-nya dibidang pengawasan. Melalui kerjasama dengan Indonesia Professional in Audit and Control Association (IPACA), Inspektorat Jenderal Kemenkes menyelenggarakan Seminar Online pada Selasa, 4 Agustus 2020 dengan tajuk yang berjudul “Peran Internal Audit di Masa “Luar Biasa”. Acara ini diselenggarakan secara gratis melalui Aplikasi Zoom dan boleh diikuti oleh insan pengawasan internal baik dari institusi pemerintah maupun swasta. Acara tersebut dibuka oleh Inspektur Jenderal Kemenkes (Murti Utami) dilanjutkan paparan dari Keynote Speaker Antonius Alijoyo selaku Ketua Dewan pengawas IPACA. Selain bisa disaksikan melalui Aplikasi Zoom, acara tersebut juga disiarkan secara live melalui akun Youtube Inspektorat Jenderal Kementerian Kesehatan.

Dalam sambutannya, Irjen Kemenkes menyampaikan bahwa pandemi Covid-19 yang saat ini dialami oleh sebagian besar negara di dunia, termasuk Indonesia telah mengubah pola pikir dan budaya kerja instansi pemerintah dan swasta. Adanya kebijakan pembatasan sosial berskala besar di beberapa wilayah dan pembatasan jumlah pegawai yang masuk kantor menuntut perubahan pola kerja dengan memaksimalkan teknologi informasi. Hal tersebut menjadi tantangan bagi para Internal Auditor untuk dapat segera menyesuaikan strategi pengawasan di masa luar biasa ini tanpa mengurangi kualitas hasil pengawasan yang diharapkan.

Terdapat 3 nara sumber yang mengisi acara tersebut yaitu Alberthus Yudha Poerwadi, selaku Inspektur IV Inspektorat Jenderal Kementerian Kesehatan yang menyampaikan materi terkait “Pengawasan Intern dalam Mengawal Pemberian Insentif Nakes dan Santunan Kematian”. Kemudian Ricky Dompas Direktur Lembaga Sertifikasi Profesi Perbankan (LSPP) menyampaikan materi terkait “Fungsi dan Peran Internal Audit pada Masa “Luar Biasa”. Sedangkan Andry Apriyana dari GRC Analytics Deloitte menyampaikan materi terkait “Continous Auditing Jarak Jauh”.


Dalam paparan narasumber, poin penting yang disampaikan Albertus Yudha Poerwadi adalah bahwa terdapat 3 Indikasi Temuan Audit Pendahuluan yang telah dilakukan terkait pembayaran insentif dan santunan kematian yaitu:

·         Sebanyak 66% Jumlah dan besaran insentif bagi tenaga kesehatan tidak sesuai.

Bahwa besaran insentif yang diberikan melebihi pagu maksimal dan besaran insentif yang diberikan tidak sesuai (misal: hitungan hari, hitungan pasien, dll).

·    Sebanyak 2% Jenis fasilitas pelayanan kesehatan penerima insentif dan santunan kematian tidak sesuai.

·   Sebanyak 32% Jenis dan kriteria tenaga kesehatan penerima Insentif dan Santunan Kematian tidak sesuai.

Bahwa pemberian insentif yang diduga untuk jenis jabatan non tenaga kesehatan (supir, laundry, tenaga administrasi, ketering, dll). Pemberian insentif tenaga kesehatan kepada pihak-pihak yang tidak berhak menerima (Tidak bertugas, diluar SK, Cuti,  Diklat, dll). Kelengkapan dokumen pemberian santunan kematian tenaga kesehatan tidak lengkap (ST, hasil lab, surat keterangan kematian, dll).

 

Poin penting dari paparan Ricky Dompas adalah terkait tantangan dan rintangan yang dihadapi auditor intern dalam masa “Luar Biasa”, antara lain:

·         Perjalanan dinas keluar kota yang terbatas untuk melakukan audit.

·   Auditor yang terinfeksi virus yang harus dikarantina sehingga berdampak terhadap  pelaksanaan rencana audi dengan berkurangnya anggota tim audit.

·         Ketentuan bekerja secara WFH yang setiap saat dapat terganggu karena jaringan internet maupun koneksi jaringan yang tidak stabil.

·   Jumlah pegawai yang terbatas di kantor sehingga tidak dapat membantu auditor  sepenuhnya dalam memenuhi permintaan atas informasi audit yang diperlukan.

 

Sedangkan, poin penting dari paparan Andry Apriyana dari GRC Analytics Deloitte adalah terkait:

·           Covid-19 & The Future of Work.

·           Data Analytics Methodology

·           Analytics Implementation for Internal Audit.

·           Case Study : Automation and Analytics.

·           Case Study : Continuous Audit.

 

Selain diselenggarakan secara geratis, peserta yang mengikuti acara tersebut akan memperoleh e-certificate yang akan dikirimkan ke alamat email masing-masing peserta. Sampai acara berakhir jumlah peserta yang telah mengisi presensi kehadiran adalah sebanyak 553 orang melalui Webinar Zoom dan 1.193 orang melalui siaran live akun Youtube. Mayoritas tanggapan dari peseta yang mengikuti acara ini sangat positif, baik dari sisi narasumber maupun materi yang dipaparkan oleh narasumber. Meskipun diawal pembukaan terdapat kendala sinyal telekomunkasi namun semuanya terbayar lunas dengan kepuasan dari peserta yang telah mengikuti acara tersebut.

Diharapkan melalui pertemuan tersebut, tidaklah sekedar menjadi ajang berbagi keilmuan semata, tapi dapat memberikan sesuatu perbaikan nyata melalui tindak lanjut yang dapat dirasakan manfaatnya oleh Auditee.

 

                                                                                                Kontributor : Ahmad Fahrudin


Rabu, 05 Agustus 2020

SNI ISO 37001 SISTEM MANAJEMEN ANTI PENYUAPAN (SMAP) PERLUKAH INSPEKTORAT JENDERAL KEMENKES?

Oleh Kanser Arif Ardiyanto, SKM

#investigasi #suap #sehat_tanpa_korupsi


1.   Apa itu Suap ?

Suap dalam berbagai bentuk, banyak dilakukan di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Bentuk suap antara lain dapat berupa pemberian barang, uang sogok dan lain sebagainya. Adapaun tujuan suap adalah untuk mempengaruhi pengambilan keputusan dari orang atau pegawai atau pejabat yang disuap. Pengertian Suap, disebut juga dengan sogok atau memberi uang pelicin. Adapun dalam bahasa syariat disebut dengan risywah. Secara istilah adalah memberi uang dan sebagainya kepada petugas (pegawai), dengan harapan mendapatkan kemudahan dalam suatu urusan.

Dalam buku saku memahami tindak pidana korupsi “Memahami untuk Membasmi” yang dikeluarkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dijelaskan bahwa cakupan suap adalah (1) setiap orang, (2) memberi sesuatu, (3) kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara, (4) karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya. Suap juga bisa berarti setiap harta yang diberikan kepada pejabat atas suatu kepentingan, padahal semestinya urusan tersebut tanpa pembayaran. Sedangkan dalam fikih, suap atau risywah cakupannya lebih luas. Sebagaimana dikatakan Ali ibn Muhammad Al Jarjuni dalam kitab Ta’rifat,Beirut(1978),

Dr. Yusuf Qordhawi mengatakan, bahwa suap adalah sesuatu yang diberikan kepada seseorang yang memiliki kekuasaan atau jabatan apapun untuk menyukseskan perkaranya dengan mengalahkan lawannya sesuai dengan yang diinginkan atau memberikan peluang kepadanya (seperti tender) atau menyingkirkan musuhnya

Suap merupakan bagian dari korupsi dan salah satu bentuk korupsi yang paling sulit dibuktikan, hal ini karena ada kontribusi dari kedua pihak dan mereka merasa saling diuntungkan, berdasarkan data KPK tahun 2004 sampai dengan tahun 2019  kasus yang paling banyak ditangani oleh KPK adalah penyuapan yaitu sebesar 66%.Perbuatan suap dilakukan oleh seorang kepada pihak lain baik pegawai negeri, pejabat negara maupun kepada pihak lain yang mempunyai kewenangan/pengaruh. Pemberi suap memperoleh hak-hak, kemudahan atau fasilitas tertentu. Perbuatan suap pada hakekatnya bertentangan dengan norma sosial, agama dan moral. Selain itu juga bertentangan dengn kepentingan umum serta menimbulkan kerugian masyarakat dan membahayakan keselamatan negara.

Akan tetapi kenyataanya banyak perbuatan yang mengandung unsur suap belum ditetapkan sebagai perbuatan pidana, misalnya pemilihan perangkat desa, penyuapan dalam pertandingan olahraga, dan lain sebagainya.

Dalam Peraturan Mahkamah Agung nomor 13 tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana Korupsi pada Korporasi, pada pasal 4 ayat 2 menyatakan bahwa Hakim dapat menjatuhkan pidana pada korporasi bila korporasi membiarkan terjadinya pidana atau korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan pencegahan, mencegah dampak yang lebih besar dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak pidana.

2.  Mengenal ISO 370001 (Sistem Manajemen Anti Penyuapan)

a.    Pengertian SNI ISO 370001

Sistem manajemen anti penyuapan dirancang untuk menanamkan budaya anti penyuapan dalam sebuah organisasi dan menerapkan pengendalian yang tepat yang pada gilirannya akan meningkatkan kesempatan untuk mendeteksi dan mengurangi kejadian penyuapan sejak awal yang distandarkan, standar ini adalah standar global dalam rangka praktek anti korupsi yang diadopsi oleh Badan Sertifikasi Nasional yang dikenal dengan SNI ISO 370001 Sistem Manajemen Anti Penyuapan (SMAP) yang dimulai pada tahun 2016.Standar ini mencakup penyuapan di sektor public, swasta maupun nirlaba, termasuk penyuapan oleh dan terhadap sebuah organisasi atau stafnya, dan suap yang dibayarkan atau diterima melalui atau oleh pihak ketiga. Penyuapan bisa terjadi dimana saja dengan nilai berapa saja dan dapat melibatkan keuntungan finansial maupun non finansial.Standar ISO 370001 ini memberikan panduan untuk membangun, menerapkan, memelihara dan memperbaiki sistem manajemen anti penyuapan. Sistem ini dapat berdiri sendiri, dan juga dapat diintegrasikan dalam keseluruhan sisitem manajemen yang sudah ada di organisasi pemerintahan maupun perusahaan.

b.    Fungsi ISO 370001,

fungsi standar/sistem manajemen anti penyuapan ini memiliki dua fungsi yang dapat dilihat dalam tabel berikut:


c.  Prinsip Dasar SNI ISO 370001 Sistem Manajemen Anti Penyuapan.

Prinsip dasar Sistem Manajemen Anti Penyuapan terdapat enam prinsip dasar yaitu :

1)      Komitmen Level Puncak

Manajemen Puncak harus memiliki komitmen dalam memerangi penyuapan, dan mempromosikan Budaya Anti Suap, Komitmen yang tinggi merupakan modal dasar yang sangat tinggi dalam pemabnngunan sistem ini.

2)      Prosedur Proporsional

Menerbitkan prosedur dan kebijakan anti penyuapan yang sesuai dengan objektif organisasi terkait pencegahan penyuapan.

3)      Uji Tuntas (Due Diligence0

Mengadopsi pendekatan berbasis risiko penyuapan ke pihak ketiga atau individu yang bertindak atas nama organisasi.

4)      Penilaian Risiko

Menilai potensi risiko penyuapan dari internal dan eksternal, mengkomunikasikan dan mendokumentasikan penilaian risiko penyuapan ini.

5)      Komunikasi

Kebijakan anti penyuapan Organisasi  dapat diaksesdan dikomunikasikan ke pihak internal dan eksternal.

6)      Pemantauan dan Tinjauan

Manajemen Puncak harus memantau dan meninjau kebijakan dan prosedur anti penyuapan serta membuat modifikasi jika terdapat perubahan dalam organisasi.

d.    Roadmap Sertifikasi SNI ISO 370001 Sistem Manajemen Anti Penyuapan.

Roadmap untuk membangun Sistem Manajemen Anti Penyuapan dibutuhkan waktu sekitar 6 sampai dengan 8 bulan, dimulai dari tahapan persiapan, current state Assesment, pengembangan persyaratan, penerapan ISO 370001, Evaluasi Kinerja dan Audit Sertifikat berikut dapat digambarkan Roadmap tersebut.

Peran Inspektorat Jenderal Kementerian Kesehatan.

Inspektorat Jenderal sebagai APIP di lingkungan Kementerian Kesehatan memiliki tugas menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik dan terselenggarakanya Reformasi Birokrasi bukan hanya pada organisasinya melainkan organisasi yang ada di seluruh Kementerian Kesehatan menjadi tanggung jawabnya. Fungsi auditor internal dalam system pemerintahan di Indonesia dilakukan oleh Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP). Aparat Pengawasan Internal Pemerintah dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 tahun 2008 tentang System Pengendalian Intern Pemerintah disebutkan bahwa APIP terdiri atas Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Inspektur Jenderal Kementerian dan Lembaga, Inspektorat Provinsi, dan Inspektorat Kabupaten/Kota. Berdasarkan standar AAIPI (Asosiasi Auditor Instansi Pemerintah Indonesia) tugas APIP yaitu melakukan pengawasan intern yang  memiliki dua peran fungsi yaitu sebagai Quality Assurance dan Konsultatif yang dapat di lakukan dalam aktivitas sebagai berikut:





Dari uraian terkait peran Inspektorat Jenderal Kemenkes sangatlah vital dalam mendukung program-program yang ada di Kementerian Kesehatan yaitu melakukan Pengawasan Intern, dalam melakukan pengawasan intern yang yang baik tidak hanya didukung oleh sumber daya manusia yang cakap dan ahli semata namun juga harus didukung juga oleh sumber daya yang memiliki integritas yang tinggi dan sistem pengawasan yang andal, sehingga diperoleh rekomendasi-rekomendasi yang akuntabel dan membangun.

Perlukah ISO 370001 di Inspektorat Jenderal Kemenkes?

Berdasarkan Permenpan nomor 10 tahuu 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan Zona Integritas Menuju WBK/WBBM di lingkungan Instansi Pemerintah. Amanat tersebut tentunya harus dilaksanakan di Kementerian Kesehatan, Inspektorat Jenderal selaku unit utama di Kementerian Kesehatan yang memiliki kewenangan melakukan pengawasan Intern diberikan kewenangan untuk melakukan penilaian atas pelaksanaan pembangunan Zona Integritas menuju WBK/WBBM di lingkungan Kementerian Kesehatan, dan selama ini Itjen telah melakukan proses tersebut dimulai dari pendampingan sampai dengan melakukan penilaian terhadap satuan kerja terpilih dan diusulakn oleh unit utama pembinannya. Pertanyaanya siapakah yang menilai Inspektorat Jenderal dalam penerapan Zona Integritas?, perlukah Inspektrat Jenderal menyandang predikat WBK/WBBM ?. tentunya tidak fair bilamana Inspektorat Jenderal Kementerian Kesehatan mendapatkan penilaian predikat WBK/WBBM hasil penilaian sendiri tentunya ada konflik kepentingan atau apapun hasilnya kredibiltasnya akan tetap dipertanyakan.

Untuk itu tepatlah kiranya bilamana Inspektorat Jenderal dalam rangka meningkatkan kredibilitasnya di mata pemangku kepentingan lainnya selain mendapatkan  sertifikat IACM  (Internal audit Capabilty Model) yang diberikan oleh lembaga BPKP juga memiliki sertifikat ISO 370001 untuk membuktikan bahwa organisasi Inspektorat Jenderal Kementerian Kesehatan mempunyai budaya anti suap melalui  sistem anti penyuapan. Selain meningkatkan kredibilitas tersebut juga tentunya manfaat bagi individu dalam organisai juga bisa menghindarkan dari masalah hukum dikemudian harinya, mengingat adanya potensi penyuapan terhadap pegawai Inspektorat Jenderal Kementerian kesehatan dalam menjalankan pengawasan baik sebagai quality assurance maupun peran konsultatif.

(yas)


Sabtu, 06 Juni 2020

Dana Filantropi pada Masa Pandemi COVID-19 Perlukah Pengawasan?



Dana Filantropi pada Masa Pandemi COVID-19
Perlukah Pengawasan?

(Oleh: Wahyu Wulandari)

#Investigasi #COVID-19 #Pandemi #Sehat_tanpa_korupsi #Dana_Filantropi


Pandemi COVID-19 yang terjadi di Indonesia telah menimbulkan krisis dan melumpuhkan berbagai sektor publik. Pemerintah telah mengalirkan anggaran penanganan Pandemi COVID-19. Namun, tidak bisa jika kita hanya mengandalkan keuangan negara dalam mengatasi pandemi ini. Anggaran kesehatan tidak cukup untuk memenuhi permintaan pelayanan kesehatan yang tinggi.

Pemerintah sangat membutuhkan partisipasi dari seluruh elemen bangsa. Salah satu bentuk partisipasi tersebut adalah penggalangan dana dan uluran bantuan yang dikenal dengan Gerakan Filantropi. Kementerian Kesehatan telah menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 8 Tahun 2019 tentang Pemberdayaan Masyarakat Bidang Kesehatan, yang dapat membuka peluang untuk meningkatkan dukungan maupun peran aktif kelompok Filantropi dalam pembangunan kesehatan.

Konsep Filantropi
Istilah Filantropi (Philanthropy) berasal dari bahasa Yunani, Philos (berarti Cinta), dan Anthropos (berarti Manusia), sehingga secara harfiah Filantropi adalah konseptualisasi dari praktek memberi (giving), pelayanan (services) dan asosiasi (association) secara sukarela untuk membantu pihak lain yang membutuhkan sebagai ekspresi rasa cinta. Menurut sifatnya, dikenal dua bentuk Filantropi, yaitu Filantropi Tradisional dan Filantropi Modern.

Filantropi Tradisional adalah Filantropi yang berbasis Charity atau belas kasihan. Dalam konteks makro Filantropi Tradisional hanya mampu mengobati penyakit kemiskinan, akibat dari ketidakadilan struktur. Berbeda dengan Filantropi Tradisional, Filantropi Modern yang lazim disebut Filantropi untuk Pembangunan Sosial dan Keadilan Sosial, diusahakan melalui pembangunan sosial diyakini bahwa kemiskinan lebih disebabkan oleh ketidakadilan dalam alokasi sumber daya dan akses kekuasaan dalam masyarakat.


Bagaimanakah Peran Dana Filantropi pada Masa Pandemi COVID-19?
Filantropi memiliki peran dan kontribusi yang signifikan dalam penggalangan dana pada sektor kesehatan di Indonesia. Pada masa pandemi COVID-19 ini, Filantropi yang paling memungkinan untuk dilaksanakan adalah Filantropi berbasis Charity. Hal ini disebabkan pada saat pemerintah mengumumkan kasus COVID-19 secara terbuka mengakibatkan krisis yang relatif besar pada berbagai aspek kehidupan.

Salah satu dampak akibat krisis tersebut adalah harga alat pelindung diri, handsanitizer dan beberapa alat-alat kesehatan lainnya yang diperlukan oleh para tenaga kesehatan harganya menjadi sangat fantastis dan barangnya pun tiba-tiba menjadi langka. Hal ini membuat masyarakat beramai-ramai melakukan penggalangan dana dan memberikan sumbangan kepada instansi pelayanan kesehatan sebagai bentuk sebuah dukungan dan solidaritas yang konkrit dari masyarakat. Selain pada aspek pelayanan kesehatan, dana Filantropi juga berperan dalam membantu masyarakat dan aspek-aspek vital lain yang terdampak Pandemi COVID-19.

Dalam pelayanan kesehatan, terdapat tiga jenis pelaku Filantropi yaitu grantmaking, intermediary (pooling), dan implementing. Grantmaking adalah pelaku Filantropi yang langsung memberikan sumbangan. Sebagai contoh para pengusaha dibawah naungan Kadin bersama Yayasan Budha Tzu Chi pada tanggal 18 Maret 2020 memberikan bantuan berupa Coveral Safety (baju isolasi) untuk Kementerian Kesehatan RI (400 buah). Bantuan tersebut diterima langsung oleh Menteri Kesehatan RI Dr. dr. Terawan Agus Putranto di Kantor Pusat Kemenkes. Produsen sepatu Bocorocco juga menyerahkan donasi dalam bentuk alat rapid test COVID-19 senilai Rp 1 miliar kepada Satuan Gugus Tugas COVID-19 Kementerian Kesehatan.

Intermediary (pooling) adalah pelaku Filantropi yang mengumpulkan sumbangan dari masyarakat. Sebagai contoh pengumpulan donasi untuk melawan COVID-19 yang dilakukan oleh KAGAMADOK, UNICEF, Kitabisa.com dan Rumah Zakat. Hasil dari pengumpulan dana ini kemudian akan diserahkan kepada instansi, tenaga kesehatan dan/atau masyarakat yang membutuhkan.

Implementing adalah Filantropi yang dilakukan langsung oleh instansi yang memerlukan bantuan. Sebagai contoh penggalangan dana dalam penanganan COVID-19 yang dilakukan oleh RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung dan RS Panti Rapih Yogyakarta.

Perlukah Pengawasan?
Dana Filantropi yang telah terkumpul harus disampaikan kepada instansi atau masyarakat yang berhak menerima. Penyaluran bantuan yang dilakukan harus tepat sasaran. Jangan sampai terdapat oknum yang melakukan manipulasi dengan memanfaatkan situasi.

Agar tidak terjadi ketimpangan dalam hal pendistribusian seperti terdapat tempat yang mendapatkan bantuan banyak sekali namun di tempat lain ternyata kekurangan, distribusi bantuan harus diawasi ketat. Mekanisme dan prosedurnya harus jelas dan transparan. Sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, pengumpulan dan penyaluran sumbangan terkait Pandemi COVID-19 agar berkoordinasi dengan Bandan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) atau Bandan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) sehingga penggunaannya tepat guna dan tepat sasaran

Dalam mengawasi penyaluran dana Filantropi, pemerintah juga bisa mendorong peran serta masyarakat untuk ikut melakukan pengawasan. Untuk itu, kementerian/lembaga dan pemda harus menyediakan sarana layanan pengaduan masyarakat yang mudah, murah dan dapat segera ditindaklanjuti.

Dana Filantropi merupakan salah satu titik rawan korupsi dalam penanganan Pandemi COVID-19 karena memiliki potensi kerawanan dalam pencatatan penerimaan, penyaluran bantuan, dan penyelewengan bantuan. Menyikapi hal ini, KPK telah mengeluarkan Surat Nomor B/1939/GAH.00/01-10/04/2020 tentang Penerimaan Sumbangan atau Hibah dari Masyarakat yang ditujukan kepada seluruh gugus tugas dan kementerian/lembaga/pemda. Dengan adanya surat edaran ini pemberian donasi pada instansi pemerintah tidak dianggap sebagai gratifikasi, baik berupa uang, barang habis pakai, maupun barang modal.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 12B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, sumbangan bantuan bencana alam dalam berbagai bentuk sepanjang ditujukan kepada kementerian, lembaga, pemda maupun institusi pemerintah lainnya, bukan termasuk gratifikasi. Sehingga pemberian bantuan dari para donatur tetap dapat berlaku.

Sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas pemerintah, instansi penerima dana bantuan dapat memanfaatkan website resmi yang dikelola oleh masing-masing instansi untuk mempublikasi kepada masyarakat terkait penerimaan dan penggunaan bantuan yang diterima. Melalui website tersebut, instansi disarankan melakukan pemutakhiran data setiap hari.

Penanganan COVID-19 membutuhkan pengawalan ketat dari APIP selaku pengawas internal pemerintah baik di pusat maupun di daerah. APIP diharapkan terus mengawal pelaksanaan penanganan COVID-19 serta berkolaborasi, berinovasi dan saling membantu demi terciptanya akuntabilitas penanganan COVID-19. Koordinasi dan pengawasan perlu dilakukan oleh APIP untuk mencegah terjadinya inefisiensi dan juga korupsi di dana wabah pemerintah atau masyarakat.

Perlu diketahui bahwasanya korupsi dana pada masa pandemi baik yang berasal dari pemerintah maupun masyarakat akan dijatuhi hukuman mati. Hal ini sesuai dengan Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 bahwa tindak pidana korupsi atau penyalahgunaan anggaran yang dilakukan dalam keadaan tertentu, termasuk pandemi COVID-19 dapat dijatuhi hukuman mati.

Referensi:
  1. Abidin, Hamid, Ninik, dkk. 2017. Kajian Diagnostik Pemetaan Lembaga Filantropi Pendukung Riset. Jakarta: Kementerian PPN/Bappenas.
  2. Bahjatullah, Qi M. 2016. Pengembangan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Melalui Kegiatan Filantropi. Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan Vol.10, No.2, Desember 2016. IAIN Salatiga. Tersedia di https://inferensi.iainsalatiga.ac.id/index.php/inferensi/article/view/730
  3. Filantropi. 13 Mei 2020. Menyoal Etika dan Akuntabilitas Bantuan COVID-19. Diakses pada tanggal 14 Mei 2020 dari https://Filantropi.or.id/kabar/kabar-nasional/menyoal-etika-dan-akuntablitas-bantuan-covid-19
  4. Filantropi Kesehatan. Tanggal 24 Februari 2020. Reportase Potensi Filantropi Untuk Pembangunan Kesehatan Di Indonesia. Diakses pada tanggal 13 Mei 2020 dari https://Filantropikesehatan.net/web/2020/02/24/reportase-potensi-Filantropi-untuk-pembangunan-kesehatan-di-indonesia/
  5. Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan. 28 April 2020. APIP Harus Siap Kawal COVID-19. Diakses pada tanggal 14 Mei 2020 dari http://www.itjen.kemenkeu.go.id/baca/679
  6. Komisi Pemberantasan Korupsi. 15 April 2020. KPK Dorong Instansi Transparan Kelola Dana Bantuan. Diakses pada tanggal 13 Mei 2020 dari https://www.kpk.go.id/id/berita/berita-kpk/1588-kpk-dorong-instansi-transparan-kelola-dana-bantuan.
  7. Latief, Hilman. 2013. Politik Filantropi Islam di Indonesia. Negara, Pasar dan Masyarakat Sipil. Yogyakarta: Ombak
  8. Radar Bangsa. 29 April 2020. Ketua KPK Ingatkan Koruptor Dana Covid-19 Terancam Hukuman Mati. Diakses pada tanggal 13 Mei 2020 dari https://www.radarbangsa.com/news/24186/ketua-kpk-ingatkan-koruptor-dana-covid-19-terancam-hukuman-mati.
  9. Republika. 29 April 2020. Empat Area Rawan Korupsi Implementasi Anggaran Covid-19. Diakses pada tanggal 13 Mei 2020 dari https://republika.co.id/berita/q9jief409/empat-area-rawan-korupsi-implementasi-anggaran-covid19
  10. Republika. 29 April 2020. KPK Lakukan Enam Langkah Kawal Dana Covid-19. Diakses pada tanggal 13 Mei 2020 dari https://republika.co.id/berita/q9jbc2377/kpk-lakukan-enam-langkah-kawal-dana-covid19
  11. Pusat Analisis Determinan Kesehatan. 2019. Analisis Kebijakan Peran Filantropi dalam Pembangunan Kesehatan. Diakses pada tanggal 8 Mei 2020 dari http://www.padk.kemkes.go.id/uploads/download/Analisis_Filantropi.pdf
  12. Surat Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor B/1939/GAH.00/01-10/04/2020 tentang Penerimaan Sumbangan atau Hibah dari Masyarakat.
  13. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
  14. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pindana Korupsi.
  15. Yayasan Buddha Tzu-Chi Indonesia. 20 Maret 2020. Perangi COVID-19 Pengusaha di Bawah Naungan KADIN bersama Tzu Chi Galang Dana Rp 500 Miliar. Diakses pada tanggal 14 Mei 2020 dari http://www.tzuchi.or.id/read-berita/perangi-covid-19-pengusaha-di-bawah-naungan-kadin-bersama-tzu-chi-galang-dana-rp-500-miliar/8892

Work From Home // Work From Office // Tetap Berkinerja // Cegah Penularan Covid19

(yas)